The Philosophical Meaning of Sundanese, Javanese and Colonial Architectural Elements in the Manonjaya Grand Mosque

Shella Agustina

Abstract


Abstrak: Penelitian ini mengeksplorasi akulturasi budaya dalam arsitektur Masjid Agung Manonjaya di Kabupaten Tasikmalaya, Indonesia, yang mencerminkan perpaduan tradisi lokal, pengaruh Hindu-Buddha, dan Islam. Dengan lebih dari 245 juta penduduk beragama Islam, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tercermin dalam bangunan masjid yang beragam. Masjid Agung Manonjaya, dibangun pada 1832, adalah warisan Kerajaan Sukapura dan kini dilindungi sebagai Benda Cagar Budaya. Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif deskriptif dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, serta studi pustaka. Temuan dari penelitian ini mengungkapkan beberapa elemen arsitektural utama yang mewakili akulturasi, seperti atap tumpang tiga yang terinspirasi dari konsep punden berundak, simbol kehidupan manusia, dan pengaruh Hindu-Buddha dari Kerajaan Mataram. Struktur tiang Soko Guru dan mustaka (memolo) memperlihatkan adaptasi dari elemen sakral Hindu-Buddha. Serambi masjid yang bergaya neoklasik kolonial, dengan kolom dorik, pedimen dan entablature, mengintegrasikan pengaruh kolonial dengan budaya Sunda dan Jawa, menciptakan kesan megah sekaligus merefleksikan keterbukaan budaya lokal terhadap pengaruh luar. Dengan demikian, Masjid Agung Manonjaya menjadi simbol penting dari akulturasi budaya dan keislaman yang unik di Indonesia.

 

Kata Kunci: Elemen Arsitektur; Masjid Agung Manonjaya; Akulturasi Budaya.


Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.17509/jaz.v8i1.79289

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2025 Shella Agustina

Creative Commons License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.