PENGARUH GUNUNG LAUT ANAK KRAKATAU TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT DI SELAT SUNDA

Della Ayu Lestari, Luthfi Anzani, Acep Saepul Zamil, Aji Prasetyo, Ester Frescila Simbolon, Muhamad Renaldi Apriansyah

Abstract


ABSTRACT

Indonesia's total area 70% is Sea, in which live a variety of marine biota. One of these biota is seaweed. Seaweed is one of the biodiversity that is very abundant in Indonesia, which is about 8.6% of the total biota in the sea. The area that has become the habitat of seaweed in Indonesia reaches 1.2 million hectares or the largest in the world. The Potential of seaweed should continue to be excavated, therefore many researchers who are interested in nutrients contained in this seaweed. Sunda Strait is the strait that connects the island of Java and Sumatera in Indonesia, and connects the sea of Java to the Indian Ocean. At the narrowest point, the width of Sunda Strait is only about 30 km. If seen from the other side of Indonesia it self is in the Ring of Fire between the Asian plate and Indo-Asia also the Pacific makes the country is rich in volcanoes on land and sea. Sea mount in Indonesia which has a large eruption and explosively one of them is Mount Anak Krakatau. Of course it affects the surrounding environment that contains many nutrients therein. This Review discusses substances that are contained on Mount of fire for example Carbon monoxide substances, carbon dioxide, sulfur dioxide, hydrogen sulfide, and nitrogen, substances contained in seaweed such as cellulose Caco3 (calcium carbonate), Fulcellaran and Porpiran alginic acid, silicon, and substances contained in the Sunda Strait such as SiO2 (silica), calcium (Ca), magnesium (Mg), potassium (K) and phosphorus (P). The results of this study are expected for the community to know the substances that make the seaweed fertile in order to be utilized properly.

Keywords: mount of fire, nutrient, seaweed, Sunda Strait water.

 

ABSTRAK

Luas wilayah indonesia 70%  adalah laut, didalamnya hidup beraneka ragam jenis biota laut. Salah satu biota ini adalah rumput laut (Seaweed). Rumput laut merupakan salah satu sumber daya hayati yang sangat melimpah diperairan Indonesia yaitu sekitar 8,6% dari total biota di laut. Luas wilayah yang menjadi habitat rumput laut di Indonesia mencapai 1,2 juta hektar atau terbesar di dunia. Potensi rumput laut perlu terus digali, oleh karenanya banyak peneliti yang tertarik akan zat hara yang terkandung pada rumput laut ini. Selat Sunda merupakan selat yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera di Indonesia, serta menghubungkan Laut Jawa dengan Samudera Hindia. Pada titik tersempit, lebar selat Sunda hanya sekitar 30 km. Jika dilihat dari sisi lain Indonesia sendiri berada dalam ring of fire antara lempeng Asia dan Indo-Asia juga Pasifik ini  menciptakan negeri Indonesia kaya akan gunung berapi di darat maupun laut. Gunung laut yang ada di Indonesia yang memiliki letusan yang besar dan eksplosif salah satunya adalah Gunung Anak Krakatau. tentu itu berpengaruh pada lingkungan sekitarnya yang banyak mengandung zat hara didalamnya. Review ini membahas zat yang terkandug pada gunung berapi misalnya zat karbon monoksida, karbon dioksida, sulfur dioksida, hidrogen sulfida, dan nitrogen, zat yang terkandung pada rumput laut misalnya seperti Selulosa CaCO3 (kalsium karbonat), fulcellaran dan porpiran asam alginat, Silikon, dan zat yang terkandung diperairan selat sunda misalnya seperti SiO2 (silika), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K) dan fosfor (P). Hasil dari kajian ini diharapkan untuk masyarakat agar mengetahui zat-zat yang membuat rumput laut subur agar bisa dimanfaatkan dengan baik.

Kata kunci: gunung berapi, perairan Selat Sunda, rumput laut, zat hara.


Keywords


Volcano; Nutrient; Seaweed; Sunda Strait

References


Atmadja, W. S. (2007). Apa Rumput Laut itu Sebenarnya? Divisi Penelitian dan Pengembangan Seaweed. Kelompok Studi Rumput Laut Kelautan. . Semarang: UNDIP.

Barrington, K., Chopin, T., & Robinson, S. (2009). Integrated Multi-trophic Aquaculture (IMTA) in marine temperate waters. Integrated mariculture: a global review. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 529. , Rome, FAO: 7-46.

Bosse, Weber-van, A. (1913). Marine algae. Rhodophyceae, of the "Sealark" Expedition, collected by Mr. J. Stanley Gardiner, M.A.. Transactions of the Linnean Society of London, Second Series, Botany 8: 105-142.

BPMPK-KEMDIKBUD. (2016). Material Letusan Gunung Api. Edukasi KEMDIKBUD https://m-edukasi.kemdikbud.go.id/medukasi/produk-files/kontenkm/km2016/KM201624/materi4.html. [10 Mei 2020]

Dahuri, R. (1998). Coastal Zone Management in Indonesia: Issues and Approaches. Journal of Coastal Development. 1(2): 97-112.

Erlania, Radiarta, N., Haryadi, J., & Johan, O. (2015). Kondisi Rumput Laut Alam Perairan Pantai Ujung Genteng, Sukabumi dan Labuhanbua, Sumbawa: Potensi Karbon Biru dan Pengembangan Budidaya. Jurnal Riset Akuakultur. 10(2): 293-304.

Eti F, Dwi SW, & Ilaqisny I. (2014). Studi Komunitas Rumput Laut Pada Berbagai Substrat di Perairan Pantai Permisian Kabupaten Cilacap. Jurnal Scripta Biologica, 55-60.

Fiantis, D. (2019). Dampak Erupsi Gunung Anak Krakatau pada Biodiversitas dan Tanah. https://theconversation.com/dampak-erupsi-gunung-anak-krakatau-pada-biodiversitas-dan-tanah-109332. [12 Mei 2020]

Fikri, M., Rejeki, S., & Widowati, L. L. (2015). Produksi Dan Kualitas Runput Laut (Eucheuma cottonii) Dengan Kedalaman Berbeda Di Perairan Bulu Kabupaten Jepara. Journal Of Aquaculture Management and Technology, 4(2): 67-74.

Firdausi, F. A. (2019). Daur Hidup dan Pemulihan Ekosistem Krakatau Usai Erupsi 1883. https://tirto.id/daur-hidup-dan-pemulihan-ekosistem-krakatau-usai-erupsi-1883-ddrT. [6 Januari 2019]

Food and Agriculture Organization [FAO]. (2012). The state of world fisheries and aquaculture. FAO Fisheries and Aquaculture Department-United Nation. Rome, 209 hlm.

Greville, R. K. (1830). Algae Brittanicae. Edinburgh & London. 370 hlm

Hermawan, D. (2015). Pengaruh Perbedaan Strain Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Terhadap Laju Pertumbuhan Spesifik. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 5(1):71-78.

Kadi, A. (2004). Potensial Rumput Laut Dibeberapa Perairan Pantai Indonesia. Oseana. 29(4): 25-36.

Kimball, J.W. (1992). Biologi Jilid 3, Edisi kelima. Terjemahan Soetarmi T. dan Nawangsari S. Erlangga. Jakarta.

KKP. (2019). Rumput Laut Komoditas Penting Yang Belum Dioptimalkan. Retrieved from kkp.go.id: https://kkp.go.id/djpdskpk/bbp2hp/artikel/14127-rumput-laut-komoditas-penting-yang-belum-dioptimalkan.

L, V. (2012). Newly discovered form of aquaculture: Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA). NACEE Workshop on some specific issues of freshwater aquaculture. Rétimajor: Hungarian Aquaculture Association. 1-20.

Merdekawati, W., & Susanto, A. B. (2009). Kandungan Dan Komposisi Pigmen Rumput Laut Serta Potensinya Untuk Kesehatan. Squalen, 4(2): 41-47.

Noor, N. M. (2015). Analisis Kesesuaian Perairan Ketapang, Lampung Selatan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Kappapycus alvarezii. Maspari Journal. 7(2):91-100.

Pangesti, E. P. (2019). Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Maitem, Provinsi Lampung Untuk Budidaya Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) [Skripsi]. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Pelczar, M. J. dan E.C.S. Chan. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Terjemahan Ratna Siri H. dkk. UI Press. Jakarta.

Ponce, H. A. Q. (1992). Cage culture of Kappaphycus alvarezii var. tambalang. Journal of Applied Phycology 4: 311-313.

Pongarrang, D., Rahman, A., Iba, W. (2013). Pengaruh Jarak Tanam dan Bobot Bibit Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) menggunakan Metode Vertikultur. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3(12):94-112.

Pusat Data, Statistik dan Informasi Sekeretariat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP]. (2013). Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten untuk Mendukung Industrialisasi KP. Pusat Data, Satatistik dan Informasi. 252 hlm

Puspita, P. (2017). Apa Yang Keluar Dari Gunung Berapi Saat Meletus? Majalah Bobo http://bobo.grid.id/read/08679326/ap-yang-keluar-dari-gunung-berapi-saat-meletus. [10 Mei 2020]

Rismawati. (2012). Studi Laju Pengeringan Semi-Refined Carrageenan (src) Yang Diproduksi Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Dengan Metode Pemanasan Konvensional dan Pemanasan OHMIC [skripsi]. Makassar: Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin.

S, S. (1983). Perkembangan Penerapan Pola Tanam dan Pola Usahatani dalam Usaha Intensifikasi (Proyek Bimas). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Santosa, G. W. (2003). Budidaya Rumput Laut. Program Community College Industri Kelautan dan Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Simkin, T., Richard, S., Fiske. (1983). Krakatau Eruption 1883: The Volcanic Eruptiom and its Effects. Washington D.C.: Smithsonian Institution Press.

Simpson, M. G. (2006). Plant Systematics .Elsevier Academic Press. Canada.

Surono, A. (2004). Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Tantri, E. (2014). Letusan krakatau 1883: Pengaruhnya Terhadap Gerakan Sosial Banten 1888. Masyarakat dan Budaya. 16 (1). 191-214.

Wawa, J. E. (2005, Juli 27). Pemerintah Provinsi Harus Segera Menyiapkan Lahan Pembibitan. www.kompas.com. [27 Juli 2005]




DOI: https://doi.org/10.17509/ijom.v1i2.25590

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2020 Jurnal Kemaritiman: Indonesian Journal of Maritime



Indexed by:

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

p-ISSN: 2722-1946 , e-ISSN: 2722-4260