PROFIL KESANTUNAN BERBAHASA SISWA PADA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS
Abstract
Abstrak
Kesantunan berbahasa merupakan suatu keterampilan yang penting dimiliki setiap indvidu untuk dapat mencapai kesuksesan dan keharmonisan dalam hidup. Kesantunan berbahasa berkaitan dengan keterampilan individu dalam menyesuaikan bahasa pada saat berinteraksi dengan individu lain. Dalam perspektif lain, kesantunan berbahasa merupakan bagian dari character strength dalam psikologi positif yaitu keramahan (agreeableness). Tujuan penelitian kesantunan berbahasa yaitu mendeskripsikan gambaran kesantunan berbahasa siswa sebagai salah satu bentuk keterampilan interaksi sosial. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kuantitatif kepada siswa kelas X sebanyak 191 orang menggunakan instrumen penelitian MC-DCT (Multiple Choice Discourse Completion Tasks). Hasil penelitian menunjukkan kondisi siswa mayoritas (70%) berada pada kategori kurang santun. Kurang santunnya siswa diakibatkan oleh kesantunan berbahasa yang digunakan antar siswa memiliki tingkat kesantunan yang lebih rendah dari kesantunan ideal (completely polite) serta jarak sosial (social distance) siswa dengan individu lain juga berakibat pada tingkat kesantunan berbahasa.
Asbtract
Linguistic politeness is an important skill for every individual to be able to achieve success and harmony in life. Linguistic politeness is related to individual skills in adjusting the language they use when interacting with other individuals. In another perspective, linguistic politeness is part of character strength in positive psychology, namely friendliness (agreeableness). The purpose of this linguistic politeness research is to describe linguistic politeness as one of the forms of social skills. The research employed a descriptive quantitative method to 191 tenth grade students using two types of research instruments, namely MC-DCT (Multiple Choice Discourse Completion Tasks) to measure politeness in language and an instrument to describe the factors that affect students’ linguistic politeness. The results show that the majority of students (70%) were included in the “less polite”. The lack of courtesy of students due to the politeness of the language used between students has a lower level of politeness than the ideal politeness (completely polite) and social distance (social distance) of students with other individuals also results in a level of politeness.
Keywords
Full Text:
PDF (Bahasa Indonesia)References
Culpeper, J. (2011). Politeness and impoliteness. Handbooks of Pragmatics, 5(1), hlm. 1-41.
Depdiknas. (2008). Penataan pendidikan profesional konselor dan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Holtgraves, T., & McNamara, P. (2010). Pragmatic comprehension deficit in Parkinson's disease. Journal of Clinical and Experimental Neuropsychology, 32(4), 388-397.
Jahja, Y. (2013). Psikologi perkembangan. Jakarta : Kencana Prenadamedia Group.
Jaworski, A., & Coupland, N. (Eds.). (2014). The discourse reader (Vol. 2). Nueva York, NY: Routledge.
Kasper, G. (1990). Linguistic politeness. Journal of Pragmatics. 14(1), hlm. 193-218.
Leech, G. N. (2005). Politeness : is there an east-west divide?. Journal of Foreign Language. 1(6), hlm. 1-30.
Leech, G. N. (2014). The pragmatics of politeness. New York : Oxford University Press.
Permadani, E. D. L. (2016). Peningkatan Perilaku Sopan Santun Anak Melalui Metode Sosiodrama pada Kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku Tahun Ajaran 2015/2016 (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret).
Rohali. (2011). Kesantunan bahasa sebagai pilar pendidikan karakter : perspektif sosiopragmatik. Jurnal Pendidikan Karakter. 1(1), hlm. 74-86.
Roshita, I. (2015). Upaya meningkatkan perilaku sopan santun melalui layanan bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama. Jurnal Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling. 1(1), hlm. 64-70.
Sauri, S. (2003). Pengembangan strategi pendidikan berbahasa santun di sekolah. Mimbar Pendidikan. 1(1), hlm. 45-52.
Sauri, S. (2010). Membangun bangsa berkarakter santun melalui pendidikan nilai di persekolahan. Proceedings of The International Conference on Teacher Education. (hlm. 196-211). Bandung : UPI.
Widyahening, Ch. E. T. (2011). Pentingnya tindak tutur kesantunan siswa kepada guru dalam proses belajar mengajar. Jurnal ilmiah Widya Wacana. 7(3), hlm. 291-298.
Yusuf, S. (2004). Mental hygiene. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Chaer, A. (2010). Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Gilman, R, dkk. (2008). Handbook of positive psychology in schools. New York : Routledge.
Huang, Y. (2008). Politeness principle in cross-culture communication. English Language Teaching. 1(1), hlm. 96-101.
Kemendikbud. (2016). Panduan operasional penyelenggaraan bimbingan dan konseling sekolah menengah atas. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pedlow, R, dkk. (2004). Children’s production and comprhension of politensess in requests : relationships to behavioral adjustment, temperament and empathy. First Language. 24(3), hlm. 347-367.
Peterson, C dan Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues. New York : Oxford University Press.
Rahardi, K. (2005). Pragmatik : kesantunan imperatif bahasa indonesia. Jakarta : Erlangga.
Rohali. (2011). Kesantunan bahasa sebagai pilar pendidikan karakter : perspektif sosiopragmatik. Jurnal Pendidikan Karakter. 1(1), hlm. 74-86.
Room, R, (2013). Konsep kesantunan berbahasa dalam islam. Jurnal Adabiyah, 13(2), hlm. 223-233.
Santrock, J. W. (2007). Child development, 11th edition (Mila Rahmawati dan Anna Kuswanti). Jakarta : Erlangga.
Sharf, R . S. (2012). Theories of psychotherapy and counseling : concepts and cases. [5th Edition]. United States of America : Cengange Learning.
Synder, C. R. Dan Lopez, S. J. (2002). Handbook of positive psychology. New York : Oxford University Press.
Wahyudi, D dan Arsana, I. M. (2014). Peran keluarga dalam membina sopan santun anak di desa galis kecamatan galis kabupaten pamekasan. Kajian Moral dan Kewarganegaraan. 1(2), hlm. 290-304.
Wacewicz, S., & Żywiczyński, P. (2015). Language evolution: why Hockett’s design features are a non-starter. Biosemiotics, 8(1), 29-46.
DOI: https://doi.org/10.17509/pdgia.v17i2.17372
Refbacks
- There are currently no refbacks.
INDEXED BY
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License